Langsung ke konten utama

Memori jalan setapak : Cerita di Sebrang Jalan


Cerita di Seberang Jalan

31 Desember 2017

Senja terakhir dimasa ini
Senja ke 365



Menutup goresan pena di tahun ini dengan sebuah cerita;
        Sore ini, di hari terakhir di bulan Desember, ketika tujuh mulai turun dari singgasananya, merelakan delapan naik ke tahta, rinai hujan turun membasahi tanah menemani senja kami. Kabut tebal di langit bersama segerombolan awan berhasil menyembunyikan sang surya, namun cahyanya tetap tak terkalahkan, menembus benteng kawanan kabut dan awan. Aroma tanah merah yang terhantam ribuan air yang jatuh dari langit menyerbak di beranda rumah nenek.
        Seperti di kali-kali sebelumnya, sudah nyaris jadi tradisi bagiku, ibuku, dan adik-adikku untuk berjalan menikmati sore di sekitaran rumah di desa tempat rumah nenekku terletak, perjalanan yang kami sebut dengan 'menjelajah'. 
        Tahun ini, penjelajahan kami di ujung tahun membawa kaki kami ke "seberang jalan". Tempat itu kami sebut seberang jalan, karena memang letaknya di seberang jalan raya rumah nenek kami.
        Awalnya, kami memasuki jalan setapak yang cukup lebar itu, dengan tanda pohon kering -yang masih berdiri walau tanpa daun menyelimuti- bak gapura di ujung tempat itu. Ratusan (mungkin) walet beterbangan di udara hendak masuk ke rumah sarang walet yang belum jadi, menyambut kami dengan keriuhan suara mereka. Bayi-bayi sawit di dalam polybag-polybag hitam berjejer tak jauh, menghiasi halaman rumah walet itu. 
        Tanah merah nan basah oleh air hujan memberatkan langkah kami. Setapak demi setapak kaki-kaki kami menyusuri jalan itu, semak dan iringan rumah berjauhan menghiasi kanan dan kiri jalan. Sembari tanah semakin melengket di sepatu karetku dan dan sandal adik-adikku. Jembatan kecil kami lewati, di bawahnya, tampak sungai kecil dengan daun-daun teratai mengapung di atasnya. 

         Tanah semakin menelan kaki-kaki kami, yang kemudian membuat kami meninggalkan alas kaki kami. Ternyata, berjalan di atas tanah basah dengan kaki telanjang, mampu mengundang keceriaan lebih pada kami. Menikmati sensasi geli dan licin di ujung kaki kami, menambah riuh gelak tawa kami sembari sesekali licinnya tanah membuat kami hampir rebah. 
         Adik paling kecil kami dengan hati ceria yang belum mengerti bahayalah yang paling menikmati perjalanan itu. Sementara kami, dengan lebih berhati-hati melangkah, ia berlarian ke genangan air yang menghiasi lubang di sepanjang jalan untuk mencelupkan kaki-kaki kecilnya ke kubangan itu. 

        Sembari menikmati alam dan senja, udara lembab keluar masuk paru-paruku. Membayangkan jalanan itu dilewati mobil-mobil mesin besar yang akhirnya menciptakan lubang-lubang di sepanjang jalan itu. Menggaruk bumi dengan cengkraman roda yang meninggalkan gurat-gurat di jalan dengan tanah merah itu. Siapa sangka? ada 7 orang anak manusia yang kini menikmati jalanan berlubang itu. Mungkin bila suatu hari aspal hitam dituang ke jalan itu, kenangan kami saat bermain dengan kubangan-kubangan dan lumpur merah itu akan turut tertimbun di lapisan bawah tertimpa aspal dan kerikil dan entah apa kami masih bisa menikmatinya. 
        Jalan itu belum selesai kami susuri, di ujung sana ada hutan sawit nan rimbun. Namun, malam segera datang, kami harus menyudahi 'penjelajahan' kami. Walau si adik kecil merengek belum mau pulang, tapi ibuku membujuknya dan ia pun ikut berbalik. Kandang kambing di sebelah kiri ujung jalan 'kami' itu menandai berakhirnya penjelajahan kami di ujung tahun itu. 
        Kami pun berbalik berjalan pulang. Baju, celana dan kaki-kaki kami kini berhias tanah merah, kami berjalan melalui jalan yang sama. Tak lupa memungut sepatu dan sandal yang tadi kami tinggalkan dekat semak. Tiba-tiba kami menyadari, baju, celana dan alas kaki kami yang kotor berlepot tanah dan lumpur, pastilah mengundang kesal nenek kami. Salah satu adikku mengusulkan kami untuk mencari sumber air, untuk membersihkan diri. Di sebelah kanan badan jalan dekat ujung jalan itu, kami menemukan tugu kecil dengan keran air. 

        Setelah meminta izin, kami pun mencuci kaki kami, dan alas kaki. Air yang sejuk dan jernih menambah panjang keceriaan kami. Setelah bersih, kami melanjutkan jalan pulang kami. 
        Setelah sampai di ujung jalan itu, kami berjejer berpegangan tangan, hendak menyebrangi jalan raya yang membelah jalanan jelajah kami dengan rumah nenek. 
        Keceriaan tak selesai di ujung jalan itu, sembari mengendap-endap ketika melihat nenek duduk di beranda rumah, kami berlari ke samping rumah, tempat biasa nenek dan tanteku mencuci, hendak membersihkan tanah yang melengket di sendal dan sepatuku yang tadi tidak hilang dengan kucuran air keran di ujung jalan itu. Aku pun mandi dan mencuci bajuku.

Perjalanan kami memang sudah usai, entahkah ketika kami kembali, kami masih bisa bermain dengan kubangan dan tanah merah itu, tapi memori kami tentang jalan itu, akan terus berputar di dalam benak kami, menjadi kenangan menyenangkan di ujung tahun itu. 



Sosok, Kalbar, 31 Des 17
-Sanguinis berhati Melankolis-
Soli Deo Gloria

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Be Thou My Vision - BYU Noteworthy feat. Keith Goodrich, violin

Hillsong United - Nothing Like Your Love - Acoustic Sessions